Pages

Jumat, 29 Juli 2016

"Dokter"

Karya : Putu Wijaya


Banyak yang tidak bisa diatasi oleh ilmu kedokteran. Bagaimana pembuahan di luar rahim,dalam bayi tabung,dipastikan akan menumbuhkan janin ketika dicangkokan ke rahim ibu ? Virus influenza, HIV, flu burung sampai sekarang masih dicari obatnya. Di luar itu masih ada musuh bayangan yang ampuh , dukun.
          Seperti kata Dokter Jhon Managsang yang malang melintang di belantara Boven Digul, masyarakat pedalaman cenderung menunda pergi ke dokter, karena lebih dulu mau konsultasi ke dukun. Kalau yang sakit sudah sekarat, baru dibawa ke Puskesmas. Biasanya pasien parah langsung diinfus, sehingga ketika maut tiba, masyarakat cenderung melihat jarum infuslah yang membunuhnya. Sulit menjelaskan kalau sudah ajal, tanpa diinfus atau tidur di hotel bintang lima sekalipun, manusia tetap mati.
          Suatu malam, saya dijemput untuk mengobati orang yang menurut dukun dapat kiriman ular berbisa dalam perutnya. Ketika sampai di puskesmas, saya lihat tubuh orang itu sudah kaku. Dia pasti sudah meninggal di rumahnya. Tetapi keluarganya memaksa saya untuk mengeluarkan ular itu.
“Pak Dokter harus tolong kami. Dia itu kepala keluarga. Hidup mati kami tergantung pada dia!”
“Tapi sudah terlambat.”
“Terlambat bagaimana, kami sudah bawa kemari pakai taksi!
Uang kami sudah banyak keluar!”
 “Tapi sebelum dibawa kemari nampaknya dia sudah tidak ada!”
          “Itu tidak mungkin ! Setiap hari lima orang dukun kami bergantian menjaga dia. Tidak mungkin roh jahat itu bisa masuk lagi. Pak dokter mesti keluarkan ular itu dari perutnya!”
          “Kalau toh benar ada ular dikirim ke perutnya, tidak ada gunanya ,sebab orangnya sudah meninggal.”
          “Makanya keluarkan ular itu cepat. Pak Dokter jangan ngomong  terus!”
          “Kami memang miskin, tidak bisa bayar, tapi ini kewajiban Dokter tolong kita punya kepala keluarga!”
          “Jangan bikin kami tambah susah,Dokter! Mentang –mentang kami orang kecil!
          “Cepat bertindak!”
          Saya disumpah untuk menjalankan praktik sesuai dengan etik kedokteran, tetapi di dalam hutan ini tidak berlaku. Saya bisa dibunuh kalau tidak melakukan apa yang meraka
minta, karena saya dokter, saya dianggap wajib bisa menyembuhkan orang sakit.
          Disaksikan keluarganya, saya bedah mayat itu. Saya buktikan tidak ada ular diperutnya seperti kata dukun. Dia mati  karena kurang gizi dan salah menenggak ramu-ramuan dukun. Tetapi meskipun sudah melihat kenyataan dengan mata kepalanya sendiri, keluarganya tidak percaya. Merela menuduh saya sudah terlambat bertindak.
          “Kalau Pak Doketr langsung bertindak tadi, tidak akan terlambat!”
          “Terlambat bagaimana!”
          “Kata dukun, ular itu sudah masuk ke dalam tulang sumsumnya, bersatu dengan darah. Dibawa ke Cina sekali pun dia akan tetap mati, apalagi hanya ke puskesmas yang fasilitasnya brengsek ini. Dokter tidak bertanggung jawab!”
          “Dokter harus bertindak!”
          “Bertindak bagaimana lagi? Paling banter saya hanya bisa menulis surat kematian pasien supaya bisa dibawa pulang!”
          “Tidak bisa! Kita tidak bisa bawa dia pulang dalam keadaan sudah jadi mayat. Dia harus terus hidup! Dia kita bawa kemari untuk maksud supaya dia bisa sembuh. Masak Dokter mau kirim lagi dia pulang supaya jadi mayat. Kasihan keluarganya, tahu! Dia tidak boleh mati!”
          “Tapi ajal itu di tangan Tuhan, kita hanya bisa berusaha!”
          “Makanya, kau harus berusaha terus, Dokter!”
          “berusaha bagaimana lagi?”
          “Panggil!!! Kejar sekarang!”
          “Kejar ke mana?”
          “Ayo kejar! Kata dukun dia belum jauh. Paling berapa kilometer. Kalau Dokter cepat bertindak, tidak cuma ngobrol, dia pasti bisa disusul!”
          “Disusul?”
          “Ah, kau lambat sekali. Beta bilang kejar! Kejar!”
          Mereka mendorong saya masuk ke dalam kamar, memaksa saya menarik orang mati itu kembali  dari kematiannya. Mereka bahkan bilang siap membantu saya dengan senjata kalau nantinya harus berkelahi.
          Saya terpaksa kembali ke dekat mayat itu. Sepanjang malam mereka berjaga di sekitar puskesmas dengan segala macam senjata. Saya bingung. Saya duduk di sisi mayat kehabisan akal. Apa yang harus saya lakukan untuk keluar dari persoalan yang tidak menyangkut bidang kedokteran itu. Saya mengerti kehidupan di alam gaib. Akhirnya saya tertidur juga karena terlalu capek.
          Pagi-pagi pintu digedor. Mereka berteriak tidak sabar, ingin tahu hasilnya. Tubuh yang meninggal pun sudah mulai berbau. Wajahnya meringis kesakitan, seakan-akan minta cepat dikuburkan. Saya rogoh saku , gaji yang hendak saya kirim kerumah masih utuh. Lalu saya buka pintu.
          “Bagaimana?”
          “Saya sudah berusaha.’
          “Dan hasilnya?”
          “Ah, apa itu artinya lumayan, kita orang tidak suka itu! Itu bahasa orang demokrat yang suka menipu. Bilang saja terus terang , berhasil atau tidak?”
          “saya sudah mencoba. Dan itu hasilnya”
          Semua melihat melewati saya kearah mayat itu. Saya berikan ruang agar mereka lewat, tapi tidak ada yang mau. Bau mayat itu menyebabkan semua tertegun. Dukun sendiri malah mundur selangkah. Mereka Nampak bimbang. Kebimbangan itu justru membangkitkan keberanian saya.  Saya mulai tahu apa yang harus dilakukan.
          “Jadi dia hidup lagi?”
          Saya  mengangguk. Mereka curiga. Tidak ada yang berani memeriksa.
          “Dia meninggalkan pesan. Kata dia sebelum tidur, berikan ini kepada istri, anak-anak, dan keluarga yang aku tinggalkan. Sampaikan kepada mereka, tenang semua, biarkan aku istirahat sekarang karena aku sudah lelah sekali.”
          Orang-orang itu terdiam. Mereka hanya memangdang amplop yang saya berikan. Tapi kemudian dukun perlahan-lahan maju. Ia memperhatikan amplop yang saya tunjukkan. Diendus-endusnya dari jauh. Setelah mengucapkan mantra lalu ia mengulurkan jepit untuk mengambilnya. Kemudian ia melihat kepada orang-orang itu, lantas memberikan uang sambil menahan beberapa di tangannya.
          Orang-orang itu menerima uang tanpa menanyakan apa-apa. Setelah dukun mengeluarkan mantra, mereka lalu bergerak.
Beberapa orang menyanyi, yang lain menghampiri mayat untuk segera dikuburkan.
          Saya sama sekali tidak ingin mengatakan bahwa saya berhasil membeli kesedihan  mereka dengan uang . Tidak, saya sama sekali tidak melihat persoalan itu, dari kaca mata orang kota yang sinis. Apalagi jumlah yang saya berikan juga tidak banyak. Saya hanya mencoba memahami itu sebagai akibat ulah saya yang berhasil berbicara, menyampaikan duka yang amat berat  bagi meraka itu, dengan bahasa yang mereka pahami.

          Barangkali mereka senang karena saya tidak menyalahkan dukun. Puas karena saya tidak mencela mereka terlambat membawa sang sakit ke puskesmas. Tidak melecehkan keberatan mereka terhadap nasib, karena yang meninggal memang benar-benar dibutuhkan oleh keluarganya sebagai tiang kehidupan. Mungkin juga mereka senang karena saya tidak mengabaikan perasaan mereka, karena saya tidak menganggap kebenaran kata sayalah yang paling benar.

0 komentar:

Posting Komentar