Karya : Putu Wijaya
Banyak yang tidak bisa diatasi oleh ilmu
kedokteran. Bagaimana pembuahan di luar rahim,dalam bayi tabung,dipastikan akan
menumbuhkan janin ketika dicangkokan ke rahim ibu
? Virus influenza, HIV, flu burung sampai sekarang masih dicari obatnya. Di
luar itu masih ada musuh bayangan yang ampuh , dukun.
Seperti kata Dokter Jhon Managsang
yang malang melintang di belantara Boven Digul, masyarakat pedalaman cenderung
menunda pergi ke dokter, karena lebih dulu mau konsultasi ke dukun. Kalau yang
sakit sudah sekarat, baru dibawa ke Puskesmas. Biasanya pasien parah langsung
diinfus, sehingga ketika maut tiba, masyarakat cenderung melihat jarum infuslah
yang membunuhnya. Sulit menjelaskan kalau sudah ajal, tanpa diinfus atau tidur di
hotel bintang lima sekalipun, manusia tetap mati.
Suatu malam, saya dijemput untuk
mengobati orang yang menurut dukun dapat kiriman ular berbisa dalam perutnya.
Ketika sampai di puskesmas, saya lihat tubuh orang itu sudah kaku. Dia pasti
sudah meninggal di rumahnya. Tetapi keluarganya memaksa saya untuk mengeluarkan
ular itu.
“Pak Dokter harus tolong kami. Dia itu kepala
keluarga. Hidup mati kami tergantung pada dia!”
“Tapi sudah terlambat.”
“Terlambat bagaimana, kami sudah bawa kemari
pakai taksi!
Uang
kami sudah banyak keluar!”
“Tapi sebelum dibawa kemari nampaknya
dia sudah tidak ada!”
“Itu tidak mungkin ! Setiap hari lima
orang dukun kami bergantian menjaga dia. Tidak mungkin roh jahat itu bisa masuk
lagi. Pak dokter mesti keluarkan ular itu dari perutnya!”
“Kalau toh benar ada ular dikirim ke
perutnya, tidak ada gunanya ,sebab orangnya sudah meninggal.”
“Makanya keluarkan ular itu cepat. Pak
Dokter jangan ngomong terus!”
“Kami memang miskin, tidak bisa bayar,
tapi ini kewajiban Dokter tolong kita punya kepala keluarga!”
“Jangan bikin kami tambah
susah,Dokter! Mentang –mentang kami orang kecil!
“Cepat bertindak!”
Saya disumpah untuk menjalankan
praktik sesuai dengan etik kedokteran, tetapi di dalam hutan ini tidak berlaku.
Saya bisa dibunuh kalau tidak melakukan apa yang meraka
minta,
karena saya dokter, saya dianggap wajib bisa menyembuhkan orang sakit.
Disaksikan keluarganya, saya bedah
mayat itu. Saya buktikan tidak ada ular diperutnya seperti kata dukun. Dia
mati karena kurang gizi dan salah
menenggak ramu-ramuan dukun. Tetapi meskipun sudah melihat kenyataan dengan
mata kepalanya sendiri, keluarganya tidak percaya. Merela menuduh saya sudah
terlambat bertindak.
“Kalau Pak Doketr langsung bertindak
tadi, tidak akan terlambat!”
“Terlambat bagaimana!”
“Kata dukun, ular itu sudah masuk ke
dalam tulang sumsumnya, bersatu dengan darah. Dibawa ke Cina sekali pun dia
akan tetap mati, apalagi hanya ke puskesmas yang fasilitasnya brengsek ini.
Dokter tidak bertanggung jawab!”
“Dokter harus bertindak!”
“Bertindak bagaimana lagi? Paling
banter saya hanya bisa menulis surat kematian pasien supaya bisa dibawa
pulang!”
“Tidak bisa! Kita tidak bisa bawa dia
pulang dalam keadaan sudah jadi mayat. Dia harus terus hidup! Dia kita bawa
kemari untuk maksud supaya dia bisa sembuh. Masak Dokter mau kirim lagi dia
pulang supaya jadi mayat. Kasihan keluarganya, tahu! Dia tidak boleh mati!”
“Tapi ajal itu di tangan Tuhan, kita
hanya bisa berusaha!”
“Makanya, kau harus berusaha terus,
Dokter!”
“berusaha bagaimana lagi?”
“Panggil!!! Kejar sekarang!”
“Kejar ke mana?”
“Ayo kejar! Kata dukun dia belum jauh.
Paling berapa kilometer. Kalau Dokter cepat bertindak, tidak cuma ngobrol, dia
pasti bisa disusul!”
“Disusul?”
“Ah, kau lambat sekali. Beta bilang
kejar! Kejar!”
Mereka mendorong saya masuk ke dalam
kamar, memaksa saya menarik orang mati itu kembali dari kematiannya. Mereka bahkan bilang siap
membantu saya dengan senjata kalau nantinya harus berkelahi.
Saya terpaksa kembali ke dekat mayat
itu. Sepanjang malam mereka berjaga di sekitar puskesmas dengan segala macam
senjata. Saya bingung. Saya duduk di sisi mayat kehabisan akal. Apa yang harus
saya lakukan untuk keluar dari persoalan yang tidak menyangkut bidang
kedokteran itu. Saya mengerti kehidupan di alam gaib. Akhirnya saya tertidur
juga karena terlalu capek.
Pagi-pagi pintu digedor. Mereka
berteriak tidak sabar, ingin tahu hasilnya. Tubuh yang meninggal pun sudah
mulai berbau. Wajahnya meringis kesakitan, seakan-akan minta cepat dikuburkan.
Saya rogoh saku , gaji yang hendak saya kirim kerumah masih utuh. Lalu saya
buka pintu.
“Bagaimana?”
“Saya sudah berusaha.’
“Dan hasilnya?”
“Ah, apa itu artinya lumayan, kita orang
tidak suka itu! Itu bahasa orang demokrat yang suka menipu. Bilang saja terus
terang , berhasil atau tidak?”
“saya sudah mencoba. Dan itu hasilnya”
Semua melihat melewati saya kearah
mayat itu. Saya berikan ruang agar mereka lewat, tapi tidak ada yang mau. Bau
mayat itu menyebabkan semua tertegun. Dukun sendiri malah mundur selangkah.
Mereka Nampak bimbang. Kebimbangan itu justru membangkitkan keberanian
saya. Saya mulai tahu apa yang harus
dilakukan.
“Jadi dia hidup lagi?”
Saya
mengangguk. Mereka curiga. Tidak ada yang berani memeriksa.
“Dia meninggalkan pesan. Kata dia
sebelum tidur, berikan ini kepada istri, anak-anak, dan keluarga yang aku
tinggalkan. Sampaikan kepada mereka, tenang semua, biarkan aku istirahat
sekarang karena aku sudah lelah sekali.”
Orang-orang itu terdiam. Mereka hanya
memangdang amplop yang saya berikan. Tapi kemudian dukun perlahan-lahan maju.
Ia memperhatikan amplop yang saya tunjukkan. Diendus-endusnya dari jauh.
Setelah mengucapkan mantra lalu ia mengulurkan jepit untuk mengambilnya.
Kemudian ia melihat kepada orang-orang itu, lantas memberikan uang sambil
menahan beberapa di tangannya.
Orang-orang itu menerima uang tanpa
menanyakan apa-apa. Setelah dukun mengeluarkan mantra, mereka lalu bergerak.
Beberapa
orang menyanyi, yang lain menghampiri mayat untuk segera dikuburkan.
Saya sama sekali tidak ingin
mengatakan bahwa saya berhasil membeli kesedihan mereka dengan uang . Tidak, saya sama sekali
tidak melihat persoalan itu, dari kaca mata orang kota yang sinis. Apalagi
jumlah yang saya berikan juga tidak banyak. Saya hanya mencoba memahami itu
sebagai akibat ulah saya yang berhasil berbicara, menyampaikan duka yang amat
berat bagi meraka itu, dengan bahasa
yang mereka pahami.
Barangkali mereka senang karena saya
tidak menyalahkan dukun. Puas karena saya tidak mencela mereka terlambat
membawa sang sakit ke puskesmas. Tidak melecehkan keberatan mereka terhadap
nasib, karena yang meninggal memang benar-benar dibutuhkan oleh keluarganya sebagai tiang kehidupan. Mungkin
juga mereka senang karena saya tidak mengabaikan perasaan mereka, karena saya
tidak menganggap kebenaran kata sayalah yang paling benar.
0 komentar:
Posting Komentar