Pages

MENJARING MATAHARI

Senja ini begitu memukau rupanya, sinar mentari yang menghiasi Desa Segea, Maluku Utara. Capung yang terbang bebas di mega semesta, menari tarian bidadari jelita, dan menyanyi senandung simfoni milik ratu senja. Telah tampak, kabut alam yang melekat pada langit yang berhasil berubah menjadi jingga.

7 Masjid Terbesar Di Dunia

Dari seluruh masjid yang ada di dunia, terdapat7 bangunan masjid terbesar. Masjid-masjid tersebut pun mampu menampung banyak orang, bahkan mencapai ratusan ribu orang hingga jutaan.

Tanda-Tanda Datangnya Malam Lailatul Qodar

Bulan Ramadhan adalah bulan yang mulia, dan didalamnya terdapat suatu malam yang sangat mulia. Suatu malam dimana Alloh SWT menurunkan Al-Qur’an ke dunia sebagai pedoman dan petunjuk umat manusia. Malam tersebut adalah Malam Lailatul Qadar

Robohnya Surau Kami

Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui sebuah surau tua.

Pacaran Dalam Kacamata Islam

Sebuah fitnah besar menimpa pemuda-pemudi pada zaman sekarang. Mereka terbiasa melakukan perbuatan yang dianggap wajar padahal termasuk maksiat di sisi Alloh Swt. Perbuatan tersebut adalah “pacaran”, yaitu hubungan pranikah antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom.

Sabtu, 30 Juli 2016

Robohnya Surau Kami

Karya : A.A Navis

Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.


Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana dengansegala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.

Sebagai penajag surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemungutan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih di kenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah minta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasihdan sedikit senyum.

Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari.

Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak di jaga lagi.

Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya.

Sekali hari aku datang pula mengupah Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku, karena aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek begitu muram. Di sudut benar ia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke depan, seolah-olah ada sesuatu yang yang mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi minyak kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek. Tidak pernah aku melihat Kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak disahutinya seperti saat itu. Kemudian aku duduk disampingnya dan aku jamah pisau itu. Dan aku tanya Kakek, "Pisau siapa, Kek?"

"Ajo Sidi."

"Ajo Sidi?"

Kakek tak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pameo akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan menjadi pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka untuk selanjutnya pimpinan tersebut kami sebut pimpinan katak.

Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatang Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan itukah yang mendurjakan Kakek? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya Kakek lagi. "Apa ceritanya, Kek?"


"Siapa?"

"Ajo Sidi."

"Kurang ajar dia," Kakek menjawab.

"Kenapa?"

"Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggoroh tenggorokannya."

"Kakek marah?"

"Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku menyerahkan diri kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan tawakal."

Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi Kakek, "Bagaimana katanya, Kek?"

Tapi Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah berulang-ulang bertanya, lalu ia yang bertanya padaku, "Kau kenal padaku, bukan? Sedari kau kecil aku sudah disini. Sedari mudaku, bukan? Kau tahu apa yang kulakukan semua, bukan? Terkutukkah perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?"

Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaannya sendiri.

"Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya isteri, punya anak, punya keluarga seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih dan penyayang kepada umatnya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya. Alhamdulillah kataku bila aku menerima karunia-Nya. Astagfirullah kataku bila aku terkejut. Masya Allah kataku bila aku kagum. Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk."

Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku, "Ia katakan Kakek begitu, Kek?"

"Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya."

Dan aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku aku mengumpati Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek. Dan ingin tahuku menjadikan aku nyinyir bertanya. Dan akhirnya Kakek bercerita lagi.

"Pada suatu waktu, ‘kata Ajo Sidi memulai, ‘di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya. Di tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyak orang yang diperiksa. Maklumlah dimana-mana ada perang. Dan di antara orang-orang yang diperiksa itu ada seirang yang di dunia di namai Haji Saleh. Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu yakin akan di masukkan ke dalam surga. Kedua tangannya ditopangkan di pinggang sambil membusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang-orang yang masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang masuk ke surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan ‘selamat ketemu nanti’. Bagai tak habis-habisnya orang yang berantri begitu panjangnya. Susut di muka, bertambah yang di belakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya.

Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga ia menyembah Tuhan. Lalu Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.

‘Engkau?’

‘Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.’

‘Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.’

‘Ya, Tuhanku.’

‘apa kerjamu di dunia?’

‘Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.’

‘Lain?’

‘Setiap hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.’

‘Lain.’

‘Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.’

‘Lain?’

Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan. Tapi ia insaf, pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belum di katakannya. Tapi menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya mengalir, diisap kering oleh hawa panas neraka itu.

‘Lain lagi?’ tanya Tuhan.

‘Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan Penyayang, Adil dan Mahatahu.’ Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji Tuhan dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnya dan tidak salah tanya kepadanya.

Tapi Tuhan bertanya lagi: ‘Tak ada lagi?’

‘O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.’

‘Lain?’

‘Sudah kuceritakan semuanya, o, Tuhanku. Tapi kalau ada yang lupa aku katakan, aku pun bersyukur karena Engkaulah Mahatahu.’

‘Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan tadi?’

‘Ya, itulah semuanya, Tuhanku.’

‘Masuk kamu.’

Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak mengerti kenapa ia di bawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang di kehendaki Tuhan daripadanya dan ia percaya Tuhan tidak silap.

Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya, karena semua orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga.

‘Bagaimana Tuhan kita ini?’ kata Haji Saleh kemudian, ‘Bukankah kita di suruh-Nya taat beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan-Nya ke neraka.’

‘Ya, kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang senegeri dengan kita semua, dan tak kurang ketaatannya beribadat,’ kata salah seorang diantaranya.

‘Ini sungguh tidak adil.’

‘Memang tidak adil,’ kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.

‘Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.’

‘Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.’

‘Benar. Benar. Benar.’ Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.

‘Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?’ suatu suara melengking di dalam kelompok orang banyak itu.

‘Kita protes. Kita resolusikan,’ kata Haji Saleh.

‘Apa kita revolusikan juga?’ tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpin gerakan revolusioner.

‘Itu tergantung kepada keadaan,’ kata Haji Saleh. ‘Yang penting sekarang, mari kita berdemonstrasi menghadap Tuhan.’

‘Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita perolah,’ sebuah suara menyela.

‘Setuju. Setuju. Setuju.’ Mereka bersorak beramai-ramai.

Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.

Dan Tuhan bertanya, ‘Kalian mau apa?’

Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama rendah, ia memulai pidatonya: ‘O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembahmu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu,mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami. Tak sesat sedikitpun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau memasukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.’

‘Kalian di dunia tinggal di mana?’ tanya Tuhan.

‘Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.’

‘O, di negeri yang tanahnya subur itu?’

‘Ya, benarlah itu, Tuhanku.’

‘Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya, bukan?’

‘Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.’ Mereka mulai menjawab serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.

‘Di negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa di tanam?’

‘Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.’

‘Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?’

‘Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.’

‘Negeri yang lama diperbudak negeri lain?’

‘Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.’

‘Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?’

‘Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.’

‘Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?’

‘Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.’

‘Engkau rela tetap melarat, bukan?’

‘Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.’

‘Karena keralaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?’

‘Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.’

‘Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak di masukkan ke hatinya, bukan?’

‘Ada, Tuhanku.’

‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk di sembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!"

Semua menjadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang akan di kerjakannya di dunia itu salah atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada malaikat yang menggiring mereka itu.

‘Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?’ tanya Haji Saleh.

‘Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak isterimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.’

Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek.

Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk.

"Siapa yang meninggal?" tanyaku kagut.

"Kakek."

"Kakek?"

"Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali. Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur."

"Astaga! Ajo Sidi punya gara-gara," kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang tercengang-cengang.

Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia.

"Ia sudah pergi," jawab istri Ajo Sidi.

"Tidak ia tahu Kakek meninggal?"

"Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis."

"Dan sekarang," tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, "dan sekarang kemana dia?"

"Kerja."

"Kerja?" tanyaku mengulangi hampa.

"Ya, dia pergi kerja."



sumber : Academia Education

Jumat, 29 Juli 2016

"Dokter"

Karya : Putu Wijaya


Banyak yang tidak bisa diatasi oleh ilmu kedokteran. Bagaimana pembuahan di luar rahim,dalam bayi tabung,dipastikan akan menumbuhkan janin ketika dicangkokan ke rahim ibu ? Virus influenza, HIV, flu burung sampai sekarang masih dicari obatnya. Di luar itu masih ada musuh bayangan yang ampuh , dukun.
          Seperti kata Dokter Jhon Managsang yang malang melintang di belantara Boven Digul, masyarakat pedalaman cenderung menunda pergi ke dokter, karena lebih dulu mau konsultasi ke dukun. Kalau yang sakit sudah sekarat, baru dibawa ke Puskesmas. Biasanya pasien parah langsung diinfus, sehingga ketika maut tiba, masyarakat cenderung melihat jarum infuslah yang membunuhnya. Sulit menjelaskan kalau sudah ajal, tanpa diinfus atau tidur di hotel bintang lima sekalipun, manusia tetap mati.
          Suatu malam, saya dijemput untuk mengobati orang yang menurut dukun dapat kiriman ular berbisa dalam perutnya. Ketika sampai di puskesmas, saya lihat tubuh orang itu sudah kaku. Dia pasti sudah meninggal di rumahnya. Tetapi keluarganya memaksa saya untuk mengeluarkan ular itu.
“Pak Dokter harus tolong kami. Dia itu kepala keluarga. Hidup mati kami tergantung pada dia!”
“Tapi sudah terlambat.”
“Terlambat bagaimana, kami sudah bawa kemari pakai taksi!
Uang kami sudah banyak keluar!”
 “Tapi sebelum dibawa kemari nampaknya dia sudah tidak ada!”
          “Itu tidak mungkin ! Setiap hari lima orang dukun kami bergantian menjaga dia. Tidak mungkin roh jahat itu bisa masuk lagi. Pak dokter mesti keluarkan ular itu dari perutnya!”
          “Kalau toh benar ada ular dikirim ke perutnya, tidak ada gunanya ,sebab orangnya sudah meninggal.”
          “Makanya keluarkan ular itu cepat. Pak Dokter jangan ngomong  terus!”
          “Kami memang miskin, tidak bisa bayar, tapi ini kewajiban Dokter tolong kita punya kepala keluarga!”
          “Jangan bikin kami tambah susah,Dokter! Mentang –mentang kami orang kecil!
          “Cepat bertindak!”
          Saya disumpah untuk menjalankan praktik sesuai dengan etik kedokteran, tetapi di dalam hutan ini tidak berlaku. Saya bisa dibunuh kalau tidak melakukan apa yang meraka
minta, karena saya dokter, saya dianggap wajib bisa menyembuhkan orang sakit.
          Disaksikan keluarganya, saya bedah mayat itu. Saya buktikan tidak ada ular diperutnya seperti kata dukun. Dia mati  karena kurang gizi dan salah menenggak ramu-ramuan dukun. Tetapi meskipun sudah melihat kenyataan dengan mata kepalanya sendiri, keluarganya tidak percaya. Merela menuduh saya sudah terlambat bertindak.
          “Kalau Pak Doketr langsung bertindak tadi, tidak akan terlambat!”
          “Terlambat bagaimana!”
          “Kata dukun, ular itu sudah masuk ke dalam tulang sumsumnya, bersatu dengan darah. Dibawa ke Cina sekali pun dia akan tetap mati, apalagi hanya ke puskesmas yang fasilitasnya brengsek ini. Dokter tidak bertanggung jawab!”
          “Dokter harus bertindak!”
          “Bertindak bagaimana lagi? Paling banter saya hanya bisa menulis surat kematian pasien supaya bisa dibawa pulang!”
          “Tidak bisa! Kita tidak bisa bawa dia pulang dalam keadaan sudah jadi mayat. Dia harus terus hidup! Dia kita bawa kemari untuk maksud supaya dia bisa sembuh. Masak Dokter mau kirim lagi dia pulang supaya jadi mayat. Kasihan keluarganya, tahu! Dia tidak boleh mati!”
          “Tapi ajal itu di tangan Tuhan, kita hanya bisa berusaha!”
          “Makanya, kau harus berusaha terus, Dokter!”
          “berusaha bagaimana lagi?”
          “Panggil!!! Kejar sekarang!”
          “Kejar ke mana?”
          “Ayo kejar! Kata dukun dia belum jauh. Paling berapa kilometer. Kalau Dokter cepat bertindak, tidak cuma ngobrol, dia pasti bisa disusul!”
          “Disusul?”
          “Ah, kau lambat sekali. Beta bilang kejar! Kejar!”
          Mereka mendorong saya masuk ke dalam kamar, memaksa saya menarik orang mati itu kembali  dari kematiannya. Mereka bahkan bilang siap membantu saya dengan senjata kalau nantinya harus berkelahi.
          Saya terpaksa kembali ke dekat mayat itu. Sepanjang malam mereka berjaga di sekitar puskesmas dengan segala macam senjata. Saya bingung. Saya duduk di sisi mayat kehabisan akal. Apa yang harus saya lakukan untuk keluar dari persoalan yang tidak menyangkut bidang kedokteran itu. Saya mengerti kehidupan di alam gaib. Akhirnya saya tertidur juga karena terlalu capek.
          Pagi-pagi pintu digedor. Mereka berteriak tidak sabar, ingin tahu hasilnya. Tubuh yang meninggal pun sudah mulai berbau. Wajahnya meringis kesakitan, seakan-akan minta cepat dikuburkan. Saya rogoh saku , gaji yang hendak saya kirim kerumah masih utuh. Lalu saya buka pintu.
          “Bagaimana?”
          “Saya sudah berusaha.’
          “Dan hasilnya?”
          “Ah, apa itu artinya lumayan, kita orang tidak suka itu! Itu bahasa orang demokrat yang suka menipu. Bilang saja terus terang , berhasil atau tidak?”
          “saya sudah mencoba. Dan itu hasilnya”
          Semua melihat melewati saya kearah mayat itu. Saya berikan ruang agar mereka lewat, tapi tidak ada yang mau. Bau mayat itu menyebabkan semua tertegun. Dukun sendiri malah mundur selangkah. Mereka Nampak bimbang. Kebimbangan itu justru membangkitkan keberanian saya.  Saya mulai tahu apa yang harus dilakukan.
          “Jadi dia hidup lagi?”
          Saya  mengangguk. Mereka curiga. Tidak ada yang berani memeriksa.
          “Dia meninggalkan pesan. Kata dia sebelum tidur, berikan ini kepada istri, anak-anak, dan keluarga yang aku tinggalkan. Sampaikan kepada mereka, tenang semua, biarkan aku istirahat sekarang karena aku sudah lelah sekali.”
          Orang-orang itu terdiam. Mereka hanya memangdang amplop yang saya berikan. Tapi kemudian dukun perlahan-lahan maju. Ia memperhatikan amplop yang saya tunjukkan. Diendus-endusnya dari jauh. Setelah mengucapkan mantra lalu ia mengulurkan jepit untuk mengambilnya. Kemudian ia melihat kepada orang-orang itu, lantas memberikan uang sambil menahan beberapa di tangannya.
          Orang-orang itu menerima uang tanpa menanyakan apa-apa. Setelah dukun mengeluarkan mantra, mereka lalu bergerak.
Beberapa orang menyanyi, yang lain menghampiri mayat untuk segera dikuburkan.
          Saya sama sekali tidak ingin mengatakan bahwa saya berhasil membeli kesedihan  mereka dengan uang . Tidak, saya sama sekali tidak melihat persoalan itu, dari kaca mata orang kota yang sinis. Apalagi jumlah yang saya berikan juga tidak banyak. Saya hanya mencoba memahami itu sebagai akibat ulah saya yang berhasil berbicara, menyampaikan duka yang amat berat  bagi meraka itu, dengan bahasa yang mereka pahami.

          Barangkali mereka senang karena saya tidak menyalahkan dukun. Puas karena saya tidak mencela mereka terlambat membawa sang sakit ke puskesmas. Tidak melecehkan keberatan mereka terhadap nasib, karena yang meninggal memang benar-benar dibutuhkan oleh keluarganya sebagai tiang kehidupan. Mungkin juga mereka senang karena saya tidak mengabaikan perasaan mereka, karena saya tidak menganggap kebenaran kata sayalah yang paling benar.

Senin, 25 Juli 2016

Motivasi Diri (part 2)

Matahari akan terbit pada saatnya, dan akan terbenam pada saatnya. Bulan muncul pada saatnya dan akan menghilang pada saatnya. Ujian akan hadir pada saatnya dan kebahagiaan akan hadir pada saatnya. Tidak ada yang perlu dicemaskan, semua akan tiba pada saatnya. Hanya bersyukur yang membuat kaya dan bahagia

Suara itu akan tetap terdengar, meskipun kita tidak menghendaki. Sikap sinispun akan Nampak, meskipun kita tidak menghendakinya. Agar semua terasa nikmat, maka tutup mata tutup telinga disaat kita tidak menghendaki.

Masalah hidup tidak akan berhenti, kecuali ajal menjemput. Maka untuk menikmati hidup hanyalah akrab dengan masalah-masalah yang hadir.

Jika ada “datang” ada juga “pergi”, ada “susah” juga ada “bahagia”, ada “hidup” ada “mati”. Siapkah kita terhadap semua yang bakal terjadi.

Jika kita dihadang dalam menjalankan kebaikan, pasti Allah Yang Maha Bijaksana akan membukakan pintu yang lebar untuk kita bisa jalan. Jangan selalu mencari zona aman kalau itu salah.

Suara yang menyakitkan itu akan indah pada saatnya. Maka sabarlah menunggu, dan saat itu kan hadir juga.

Harus tetap bertahan, mata boleh menangis, tapi hati harus selalu tersenyum.

Menerima pujian itu baik, menerima kritik dan saran itu lebih baik. Namun yang terbaik adalah menerima kritik dan menjalankan saran.

Rasa syukur akan berteman dengan kebahagiaan, dan ketidakpuasan akan berteman dengan kesedihan dan kegalauan. Carilah teman sesuai selera.

Tempat yang nikmat harus diraih lebih sulit, daripada tempat yang biasa saja. Jika tidak mau melakukan hal-hal yang sulit, maka siaplah untuk menempati tempat yang biasa-biasa saja.

Yakinlah didalam penderitaan akan ada keindahan disana.

Betapa kehidupan itu penuh makna, apapun bentuknya. Maka harus kita hargai, harus kita pelajari dan harus kita syukuri.


Sumber : Buku Suara Hati "Kumpulan Motivasi Diri" Karya Siti Mukaromah

Sabtu, 23 Juli 2016

Dua Bayi "Kahlil Gibran"

Seorang pangeran berdiri di balkon istana dan berseru kepada khalayak yang berkerumun demi mendengar kabar dan berkata, “aku membawa kabar gembira bagi kalian dan ucapan selamat untuk negeri kita yang beruntung atas kelahiran seorang pangeran baru yang akan membawa kemuliaan nama keluargaku, dan pada siapa kalian akan berbangga. Ia adalah ahli waris baru yang mewarisi kebesaran kakek moyang, dan padanya bergantung kecerahan masa depan kerajaan ini. Bernyanyilah dan berbahagialah!” maka khalayak mengangkat suara memenuhi udara dengan sorakan kegembiraan, penuh bahagia dan rasa syukur, menyambut penguasa baru yang akan mengencangkan kendali kekuasaan di leher mereka dengan memerintah yang lemah dalam otoritas kejam, dan mengeksploitasi tubuh serta membunuh jiwa mereka. Atas takdir itulah, mereka bernyanyi dan meminum arak demi kesehatan sang Emir baru.

Sang anak memasuki kehidupannya dan kerajaan tersebut di waktu yang bersamaan. Ketika penduduk kota memuja sang penguasa dan menghilangkan keberadaan meraka dengan menyanyikan pujian bagi sang tiran, dan kala malaikat surga menangisi kelemahan dan tertindasnya mereka, seorang perempuan yang tengah kesakitan sedang berpikir. Ia tinggal disebuah gubuk tua, terlantar, dan terbaring dia atas pembaringannya yang keras bersama bayinya yang baru lahir terbungkus dalam kain kasar, nyaris mati kelaparan. Ia adalah seorang istri muda yang menyedihkan dan terlupakanoleh kemanusiaan; suaminya terjatuh dalam jebakan kemetian yang disiapkan oleh kebengisan Pangeran, meninggalkan seorang perempuan kesepian hingga Tuhan telah mengirimnya seorang sahabat mungil lewat para dewa demi menjaganya dari bekerja sembari mempertahankan hidup.

Manakala keramaian mereda dan keheningan kembali melingkupnnya, perempuan itu meletakkan bayinyadi atas pangkuan dan menatap wajahnya sembari tersedu seakan ia membaptis bayinya dengan airmata. Dalam suara lemah akibat lapar, ia berkata pada anaknya, “Mengapa kau meninggalkan dunia roh dan dating untuk berbagi kepahitan duniawi denganku ? Mengapa kau tinggalkan malaikat serta cakrawala tak berjarak dan dating ke tanah sengsara berisi manusia, penuh dengan penderitaan, tekanan, dan kekejaman ? Aku tak memiliki apapun kecuali air mata, akankah kau menyusu dengan air mata dan bukan air susu ? Aku tak punya baju sutera untuk kau kenakan; akankah tangan kosongku yang bergetar sanggup memberimu kehangatan ? sedang hewan-hewan kecil merumput di padangdan kembali ke naungan mereka dengan aman di malam hari; dan kawanan burung mungil memungut biji-bijian dan tidur dengan nyaman di dahan pepohonan. Tapi kau, anakku, tak memiliki apapun kecuali ibu yang sengsara.”

Kemudian ia mendekap anak itu dengan mesra di dada dan memeluknya dalam lengan seakan-akan ia ingin membuat tubuh itu menjadi satu dengannya, seperti sebelumnya. Ia mengarahkan matanya yang menyala menuju langit dan menjerit, “Tuhan ! Kasihanilah negeri malang kami ini!”


Dan pada saat itu awan mengambang dari wajah sang rembulan, sinar lembutnya masuk melalui jendela gubuk yang menyedihkan itu dan cahayanya jatuh di atas kedua jasad yang telah dingin.


sumber : Buku Air Mata dan Tawa "Kahlil Gibran"

Kamis, 21 Juli 2016

Motivasi Diri (part 1)

memberi kemudahan kepada orang lain,, kita akan diberi kemudahan oleh orang yang lainnya. Jika kita menyulitkan orang lain, kita juga akan diberi kesulitan oleh orang yang lainnya. Jadi jangan pernah sekalipun anda menyulitkan orang lain.

Never dream without action. Everything can be reached with effort. Keep the spirit to get the dream.

Ya Allah yakinkan diriku, bahwa kejadian demi kejadian adalah bentuk kasih sayangMu padaku. Karena Engkau lebih mengetahui dariku.

Masalah itu akan menghadirkan keindahan pada akhirnya.  Karena hidup tanpa masalah akan terasa membosankan. Maka biarkan dia hadir dan hadapilah dia lalu nikmatilah setelahnya.

Mensyukuri nikmat “cantik” itu berkah, mensyukuri nikmat “tampan” itu berkah, menyukuri nikmat “jelek” jauh lebih berkah. Yang tidak berkah ialah menikmati rasa “iri hati”.

Dalam kondisi terpuruk aku bersyukur, dengan begitu ada usaha untuk Berjaya. Dalam kondisi miskin aku bersyukur, dengan begitu aku  berusaha menjadi kaya. Dalam kondisi bodoh aku bersyukur, dengan begitu aku berusaha menjadi pandai. Dalam kondisi terdholimi aku bersyukur, dengan begitu ada transfer pahala dari yang mendholimi. Dalam segala hal aku berusaha bersyukur, dengan begitu Allah akan menambahkan nimatku.

Tidak ada kebahagiaan hadir bersama kesedihan dalam satu waktu, tidak ada tangis dan tawa hadir dalam satu waktu, tidak ada panas dan dingin hadir dalam satu waktu. Mereka dating silih berganti, maka siapkan diri untuk menghadapi semuanya.



Sumber : Buku Suara Hati "Kumpulan Motivasi Diri" Karya Siti Mukaromah

Selasa, 19 Juli 2016

Proses Diciptakannya Nabi Adam A.S., Sikap Malaikat dan Iblis

Bismillahirrohmaanirrohiim

Setelah menciptakan bumi, gunung, laut, tumbuh-tumbuhan, langit dan matahari, bulan dan bintang, dan malaikat-malaikat-Nya (yaitu sejenis makhluk halus yang diciptakan untuk beribadah , menjadi perantara antara Dzat yang Maha Kuasa dengan hamba-hamba terutama para rasul dan para nabi-Nya), maka Allah S.W.T. henda menciptakan makhluk lain. Makhluk tersebut diciptakan agar menjadi khalifah di bumi, yang akan menghuni dan mengisi bumi, memeliharanya, menikmati tumbuh-tumbuhannya, mengelola kekayaan yang terpendam di dalamnya dan berkembang biak turun-temurun, waris-mewarisi sepanjang masa yang telah ditakdirkan.

Malaikat-malaikat Allah yang lebih awal diciptakan, diberitahu oleh Allah S.W.T. akan kehendak-Nya untuk menciptakan makhluk lain. Mereka khawatir, kalau makhluk yang akan diciptakan itu nantinya akan lalai dalam beribadah dan menjalankan tugas, bahkan melakukan pelanggaran tanpa mereka sadari. Akhirnya para malaikat menghadap Allah : “Wahai Tuhan kami, mengapa Engkau menciptakan khalifah di bumi, padahal kami selalu bertasbih, bertahmid, melakukan ibadah dan mengagugkan nama-Mu tiada henti, sedangkan makhluk yang akan Engkau ciptakan dan turun ke bumi itu akan bertengkar satu sama lain, akan saling membunuh, berebut menguasai kekayaan alam, sehingga menyebabkan kerusakan dan kehancuran di atas bumi yang telah engkau ciptakan itu.”

Hal ini diterangkan pada Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 30 :


Artinya:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau ?” Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al Baqarah: 30)

Allah Maha Mengetahui  apa yang para malaikat tidak ketahui. Dan Allah sendirilah yang mengetahui hikmah terhadap penguasaan Bani (keturunan) Adam atas bumi yang diciptakan-Nya. Bila Allah telah menciptakan dan meniupkan roh kepadanya, maka bersujudlah para malaikat atas perintah Allah kepada makhluk baru itu sebagai penghormatan dan bukan sebagai sujud ibadah, karena Allah S.W.T. melarang hamba-Nya beribadah kepada sesame makhluknya.

Kemudian diciptakanlah Adam oleh Allah S.W.T. dari segumpal tanah liat kering dan lumpur hitam yang berbentuk. Setelah disempurnakan bentuknya, maka ditiuplah roh ciptaan Allah kedalamnya dan berdirilah ia tegak menjadi manusia yang sempurna.

Para malaikat segera bersujud di hadapan Adam sebagai penghormatan bagi makhluk Allah yang akan diberi amanat untuk menguasai bumi dengan segala apa yang hidup dan tumbuh, serta yang terpendam di dalamnya. Lain dengan iblis, iblis telah membangkang dan enggan mematuhi perintah Allah, seperti yang telah dilakukan oleh para malaikat. Iblis merasa dirinya lebih mulia, lebih utama dan lebih agung dari Adam, karena ia diciptakan dari unsure api; sedang Adam tercipta dari tanah dan lumpur. Kebanggaan atas asal usulnya itu telah menjadikan dirinya sombong, dan merasa rendah apabila bersujud menghormati Adam, walaupun hal itu diperintahkan oleh Allah

Allah bertanya kepada iblis: “Apakah yang mencegahmu bersujud menghormati sesuatu yang telah Aku ciptakan dengan tangan-Ku? Adakah engkau menganggao dirimu besar dan agung?”  iblis menjawab: “Aku adalah lebih mulia dan lebih unggul dari dia.”

Karena kesombongan, kecongkakan, dan pembangkangannya itu, maka Allah mengusir iblis dari surga, mengeluarkan dari barisan malaikat, disertai kutukan dan laknat, yang akan melekat pada dirinya hingga datangnya hari kiamat. Di samping itu ia dinyatakan sebagai penghuni neraka Jahannam.

Iblis menerima balasan itu. Namun, ia memohon kepada Allah agar diberi kesempatan untuk hidup kekal hingga hari kiamat. Allah meluluskan permintaan itu, dan ditangguhkanlah ia sampai hari kebangkitan.

Setelah menerima jaminan, bahwa ia akan diberi tangguh hidup sampai hari kebangkitan, iblis bukannya berterima kasih maupun bersyukur, sebaliknya ia mengancam akan menyesatkan Adam, sebagai penyebab terusirnya ia dari surga dan dikeluarkannya dari barisan malaikat. Ia juga akan mendatangi anak-anak keturunan Adam. Membujuk mereka agar meninggalkan jalan yang lurus dan menempuh jalan yang sesat. Mengajak mereka melakukan maksiat dan hal-hal yang telarang. Menggoda mereka supaya melalaikan perintah-perintah agama. Mempengaruhi mereka agar tidak bersyukur dan beramal saleh.


Selanjutnya Allah berfirman kepada iblis terkutuk itu: “Pergilah engkau bersama pengikut-pengikutmu, yang semuanya akan menjadi isi dan bahan bakar neraka Jahannam. Kamu tidak akan bisa menyesatkan hamba-hamba-Ku yang telah beriman kepada-Ku dengan sepenuh hati, dan memiliki aqidah yang mantap yang tidak akan goyah oleh bujuk rayumu, walaupun engkau menggunakan segala kepandaianmu untuk menghasut dan menfitnah mereka.”

Sumber : Buku Kisah Teladan 25 Nabi dan Rosul

Senin, 18 Juli 2016

Penciptaan

Assalamualaikum Wr. Wb.

malam ini saya mau kasih pengenalan aja buat temen-temen, kalau kali ini dan hari-hari seterusnya sampai entah kapan, saya akan share buat temen-temen potongan prosa Kahlil Gibran. silahkan dinikmati.

Penciptaan



Maha Besar Tuhan memisahkan sebuah jiwa dari diri-Nya dan menciptakannya menjadi suatu Keindahan. Dia karuniai jiwa itu segala anugerah kemuliaan dan kebaikan. Dia karuniai kepadanya secawan kebahagiaan seraya berfirman.